Kebodohan Kita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 4)
Kebodohan Kita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 4)
Baca
pembahasan sebelumnya KebodohanKita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 3)
Konsekuensi Berat dari Dosa Syirik
Syirik
Merupakan Dosa yang Tidak Akan Diampuni Jika Tidak Mau Bertaubat
Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ
فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa
saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang
besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)
Ayat
ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa syirik karena Allah Ta’ala
tidak akan mengampuninya kecuali
pelakunya bertaubat darinya. Padahal, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala
sangatlah luas dan meliputi segala
sesuatu.
Padahal Ampunan Allah Sangat Luas
Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّ
اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS.
Al-Hajj [22]: 60)
Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّ
رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ
“Sesungguhnya
Rabb-mu Maha luas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm [53]: 32)
Allah
Ta’ala berfirman,
وَيُحَذِّرُكُمُ
اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ
بِالْعِبَادِ
“Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat
penyayang kepada hamba-hambaNya.” (QS. Ali ‘Imran [3]:
30)
Allah
Ta’ala berfirman,
وَرَحْمَتِي
وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا
لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
“Dan
rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku
untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A’raf [7]:
156)
Hal
ini diperkuat oleh hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dari
‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat seorang
wanita sedang menggendong anaknya sambil memberi makan, kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepada
para sahabatnya,
أَتَرَوْنَ
هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا
فِى النَّارِ.
قُلْنَا
لاَ وَاللَّهِ وَهِىَ تَقْدِرُ عَلَى
أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ.
فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم-
لَلَّهُ
أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ
بِوَلَدِهَا
“Menurut
kalian, apakah ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran
api?”
Para
sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Dia tidak akan tega, selama
dia mampu untuk tidak melemparkan anaknya.”
Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
Allah lebih mengasihi para hamba-Nya dibandingkan kasih sayang ibu
ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 7154)
Ayat-ayat
dan hadits di atas menunjukkan betapa besar kasih sayang dan ampunan
Allah Ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya, melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Akan tetapi, orang-orang musyrik tidak ikut tercakup di dalamnya.
Sehingga hal ini menunjukkan begitu besarnya kejahatan dan kedzaliman
yang ditimbulkan oleh kesyirikan.
Siapa
saja yang meninggal di atas kesyirikan, maka dia tidak akan diampuni.
Sehingga hal ini menunjukkan betapa bahayanya kesyirikan. Kita wajib
menghindarinya sejauh-jauhnya. Setiap dosa masih mungkin dan masih
ada harapan untuk diampuni jika pelakunya tidak bertaubat, kecuali
dosa syirik. Sedangkan kesyirikan tidak mungkin untuk dihindari
kecuali dengan mempelajarinya dan mengetahui bahayanya. (Lihat
I’anatul Mustafiid, 1:
95)
Dalam
sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
يَا
ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى
بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ
لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا
لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai
manusia, jika kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi,
kemudian menemuiku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku
sedikit pun, niscaya Aku akan
datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR.
Tirmidzi. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani
dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi no.
3540)
Al-Qari
rahimahullah berkata,
”Maksud dari adanya pembatasan ini (yaitu ‘dalam keadaan tidak
menyekutukan Aku sedikit pun’, pen.) adalah dia meninggal dalam
keadaan bertauhid.” (Tuhfatul Ahwadzi, 8:
437)
Perkataan
beliau rahimahullah
tersebut mengisyaratkan,
apabila seseorang berbuat syirik kemudian bertaubat dan meninggal di
atas tauhid, maka Allah Ta’ala akan
mengampuni dosa-dosanya, termasuk dosa syirik. Dalam hal ini, Allah
Ta’ala berfirman,
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا
عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah,
“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Az-Zumar [39]: 53)
Ibnu
Katsir rahimahullah
bekata ketika
menjelaskan ayat ini,
هذه
الآية الكريمة دعوة لجميع العصاة من
الكفرة وغيرهم إلى التوبة والإنابة،
وإخبار بأن الله يغفر الذنوب جميعا لمن
تاب منها ورجع عنها، وإن كانت مهما كانت
وإن كثرت وكانت مثل زبد البحر.
ولا
يصح حمل هذه الآية على غير توبة ؛ لأن
الشرك لا يغفر لمن لم يتب منه.
“Ayat
yang mulia ini menyerukan kepada seluruh pelaku maksiat baik pelaku
kekafiran maupun yang lainnya untuk bertaubat. Ayat ini juga
mengabarkan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni seluruh
dosa, bagi orang yang bertaubat darinya, apa pun jenis dosanya dan
sebanyak apa pun itu, meskipun sebanyak buih di lautan. Dan
tidaklah tepat membawa ayat ini kepada (orang-orang) yang tidak
bertaubat, karena dosa syirik tidak akan diampuni jika pelakunya
tidak bertaubat darinya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim,
7: 106)
Memupuk Rasa Takut Terjerumus dalam Kesyirikan
Setelah
mengetahui bahaya-bahaya syirik tersebut, maka sudah selayaknya
apabila seseorang sangat takut untuk terjerumus ke dalam perbuatan
syirik. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis
salaam telah
memberikan teladan kepada kita ketika beliau berdoa kepada Allah
Ta’ala,
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا
الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ
أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ ؛ رَبِّ
إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ
النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ
مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata, “Wahai Rabb-ku, jadikanlah
negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku
beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Wahai
Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan mayoritas
manusia.” (QS. Ibrahim [14]: 35-36)
Ibrahim
‘alaihis salaam
mengucapkan doa seperti
itu, padahal beliau telah memiliki kedudukan yang sangat tinggi
sebagai kekasih Allah (khalilullah).
Beliau pula yang
berdakwah memberantas syirik dan menghancurkan berhala dengan
tangannya sendiri. Sampai-sampai beliau mendapat ujian yang sangat
besar di jalan dakwah tersebut, yaitu dilemparkan ke dalam api yang
menyala-nyala. Meskipun demikian itu keadaan Ibrahim ‘alaihis
salaam, beliau tetap
mengkhawatirkan apabila dirinya jatuh terjerumus ke dalam perbuatan
syirik, karena hati manusia itu lemah dan berada di antara
jari-jemari Ar-Rahman.
Oleh
karena itulah, sebagian ulama mengatakan,”Dan
siapakah yang merasa aman dari ujian setelah Ibrahim ‘alaihis
salaam?” Hal ini
karena Ibrahim ‘alaihis
salaam mengkhawatirkan
dirinya kalau terjerus ke dalam perbuatan syirik ketika beliau
melihat banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya.
Hal
ini merupakan bantahan yang paling jelas terhadap orang-orang yang
mengatakan, ”Jangan mengkhawatirkan masyarakat kita kalau mereka
akan terjerumus ke dalam syirik karena mereka telah mengetahui dan
memiliki pengetahuan tentang hal itu. Kesyirikan dengan menyembah
berhala itu kesyirikan yang remeh, dan tidak mungkin dilakukan oleh
orang yang telah memahaminya. Yang harusnya dikhawatirkan atas
masyarakat kita adalah kesyirikan dalam masalah mengambil hukum
(maksudnya, syirik hakimiyyah, yaitu berhukum dengan selain hukum
Allah, pen.).”
Demikianlah,
mereka memusatkan perhatiannya terhadap masalah berhukum dengan
selain hukum Allah ini secara khusus. Adapun kesyirikan dalam masalah
uluhiyyah atau
ibadah, mereka tidak memiliki perhatian untuk mengingkarinya.
Konsekuensi dari perkataan tersebut adalah bahwa Ibrahim ‘alaihis
salaam dan para Rasul
seluruhnya hanyalah mengingkari syirik yang remeh saja dan
meninggalkan kesyirikan yang lebih berbahaya, yaitu syirik dalam
masalah mengambil hukum. (Lihat I’anatul Mustafiid, 1:
96).
***
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52350-kebodohan-kita-terhadap-bahaya-syirik-bag-4.html
Komentar
Posting Komentar